Kesendirian
saya, membuat saya terlalu mengidolakan penulis. Sampai sampai saya megalami
kekecewaan yang mendalam saat penulis mulai berubah. Dulu saya pernah
mengidolakan Raditya Dika, karena kelucuannya dia mampu mengilangkan
kesendirian yang saya alami. Tetapi saya mengalami kekecewaan yang mendalam
saat ia mengeluarkan naskah Koala Kumal, perubahan humornya tak lagi mampu
mengisi kekosongan yang saya alami.
Kekecewaan itu muncul lagi saat saya
membaca Mobil Bekas. Saat itu saya langsung saja membeli buku ini tanpa tahu
berisi tentang apa, berharap saya disuguhi romantisme ala Bara. Tapi, saya
kecewa. Mobil Bekas tidak romantis sama sekali.
Sudah lama saya mengenal Bernard
Batubara. Melalui karya karyanya tentu saja. Jatuh cinta pada bacaan pertama Cinta. (dibaca dengan titik). Kemudian
mengalami patah hati oleh Surat Untuk
Ruth. lalu terbuai diksi di Luka
dalam Bara. Ketiga buku itu membuat harapanku terhadap karya-karya Bara
terlalu besar. Saya yang miskin pengalaman tentang cinta ini ingin sekali
mengalami cinta versi Bara. Saya berharap dia takkan melepaskan julukan yang
diberikan kepadanya sebagai penulis novel romatis. Mungkin iniah yang membuatku
kecewa. Saya tak bisa merasakan cinta lagi dalam Mobil Bekas.
Ini pertama kalinya saya membaca buku dari adaptasi film. Atau dalam
kasus ini buku dan film diproduksi bersama sama. Aku tidak terlalu suka dengan
konsep adaptasi film menjadi buku atau sebaliknya. Pengalaman melihat film dari
adaptasi buku banyak menunjukkan kekecewaan.
Saya adalah penakut, walaupun
klaim-klaim saya menyatakan yang sebaliknya. Tapi di sana, di paling belakang
otak saya, saya selalu takut. Takut bahwa apa yang saya rasakan sekarang
hanyalah dugaan semata. Oleh karenanya saya membaca lagi buku ini. Masihkah
saya merasa kecewa?
Dan benar saja, kekecewaan itu mulai
berkurang. Saat kedua kalinya membaca, saya mulai menemukan hal hal yang
membuat saya jatuh cinta lagipada karya Bara. Yaitu caranya mendeskripsikan
sesuatu. Lambat laun saya melihat dia seperti JK Rawlingnya Indonesia.
Kerinduan yang mendalam juga saya
rasakan saat membaca buku ini. Rindu terhadap Jogja. Sayangnya, Bernard tidak
melukiskan secara detail Jogja dengan kata-katanya. Saya ingin tahu bagaimana Jogjanya Bernard
Batubara. Bukan dalam bentuk sebuah warteg di Jalan Solo, Gedung Perkantoran di
depan warteg, dan pantai. Padahal perpindahan tempat sering terjadi dalam buku
ini. Tapi kenapa tidak begitu banyak tempat yang dideskripsikan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar