Rabu, 25 April 2018

Mobil Bekas


Kesendirian saya, membuat saya terlalu mengidolakan penulis. Sampai sampai saya megalami kekecewaan yang mendalam saat penulis mulai berubah. Dulu saya pernah mengidolakan Raditya Dika, karena kelucuannya dia mampu mengilangkan kesendirian yang saya alami. Tetapi saya mengalami kekecewaan yang mendalam saat ia mengeluarkan naskah Koala Kumal, perubahan humornya tak lagi mampu mengisi kekosongan yang saya alami.

            Kekecewaan itu muncul lagi saat saya membaca Mobil Bekas. Saat itu saya langsung saja membeli buku ini tanpa tahu berisi tentang apa, berharap saya disuguhi romantisme ala Bara. Tapi, saya kecewa. Mobil Bekas tidak romantis sama sekali.
            Sudah lama saya mengenal Bernard Batubara. Melalui karya karyanya tentu saja. Jatuh cinta pada bacaan pertama Cinta. (dibaca dengan titik). Kemudian mengalami patah hati oleh Surat Untuk Ruth. lalu terbuai diksi di Luka dalam Bara. Ketiga buku itu membuat harapanku terhadap karya-karya Bara terlalu besar. Saya yang miskin pengalaman tentang cinta ini ingin sekali mengalami cinta versi Bara. Saya berharap dia takkan melepaskan julukan yang diberikan kepadanya sebagai penulis novel romatis. Mungkin iniah yang membuatku kecewa. Saya tak bisa merasakan cinta lagi dalam Mobil Bekas.
Ini pertama kalinya saya membaca buku dari adaptasi film. Atau dalam kasus ini buku dan film diproduksi bersama sama. Aku tidak terlalu suka dengan konsep adaptasi film menjadi buku atau sebaliknya. Pengalaman melihat film dari adaptasi buku banyak menunjukkan kekecewaan.
            Saya adalah penakut, walaupun klaim-klaim saya menyatakan yang sebaliknya. Tapi di sana, di paling belakang otak saya, saya selalu takut. Takut bahwa apa yang saya rasakan sekarang hanyalah dugaan semata. Oleh karenanya saya membaca lagi buku ini. Masihkah saya merasa kecewa?
            Dan benar saja, kekecewaan itu mulai berkurang. Saat kedua kalinya membaca, saya mulai menemukan hal hal yang membuat saya jatuh cinta lagipada karya Bara. Yaitu caranya mendeskripsikan sesuatu. Lambat laun saya melihat dia seperti JK Rawlingnya Indonesia.
            Kerinduan yang mendalam juga saya rasakan saat membaca buku ini. Rindu terhadap Jogja. Sayangnya, Bernard tidak melukiskan secara detail Jogja dengan kata-katanya. Saya  ingin tahu bagaimana Jogjanya Bernard Batubara. Bukan dalam bentuk sebuah warteg di Jalan Solo, Gedung Perkantoran di depan warteg, dan pantai. Padahal perpindahan tempat sering terjadi dalam buku ini. Tapi kenapa tidak begitu banyak tempat yang dideskripsikan?
             
           

Tidak ada komentar: