Minggu, 23 Oktober 2011

Cerpen Gagal



                Hmmm, kayaknya cita-cita jadi penulis ga didukung oleh bakat dan kemampuan ku deh. Padahal untuk mencapai keberhasilan paling ga ada kan harus ada bakat, minat dan kemampuan. Tapi kalau 2 dari tiga unsure keberhasilan ga dimiliki maka seperti ini lah hasilnya :

My Inspiring Grandma
Guru Kehidupan Tak Terlupakan

            Ujian Akhir Semester telah selesai. Dan kini saatnya untuk pulang kampung alias mudik. Maklum bagi anak perantauan momentum mudik adalah hal yang paling menggembirakan, kecuali aku. Tapi entah kenapa aku merasa ingin mudik, aku sendiri merasa aneh dengan keinginanku itu. Akupun bergegas menuju parkiran kampus. Segera ku starter motorku dan ku pacu motorku ingin segera sampai di kosan. Kemudian aku mampir ke apotek dulu untuk membelikan obat dan gula rendah kalori untuk nenekku.
            Saat diperjalanan menuju Kos Aku teringat akan perkataan nenekku,
            Dumeh wong ra iso mlaku, gek ra oleh nduwe sandal” (hanya karena tidak bisa jalan saja, masa ga boleh punya sandal).
Kemudian aku mampir ke toko pinggir jalan untuk membelikannya sandal jepit.
            Perjalanan menuju tempat tinggalku sangatlah menantang. Kita harus melewati jalan berkelok dan mendaki di daerah Pathuk. Tapi hal itu dibayar dengan keindahan pemandangan di Bukit Bintang. Dari sana terlihat kota jogja membentang dengan bangunan-bangunan yang terlihat hanya seperti mainan. Setelah jalan berkelok yang terkadang naik turun perjalanan masih dilanjutkan sekitar 20 Km lagi untuk benar-benar sampai ke rumah ku. Satu setengah jam yang melelahkan. Inilah salah satu alas an kenapa aku jarang pulang.
            Sesampainya di rumah, aku terheran karena suasana rumahku dipenuhi oleh tetangga dan para kerabat. Sayup-sayup terdengar lantunan ayat-ayat dari Surat Yassin. Kemudian seorang kerabat menghampiriku seraya berkata, “ Diletakkan di kamar dulu barang bawaanmu. Nenekmu ada di kamar” Dengan masih merasa bingung aku menaruh tasku dan bergegas pergi ke kamar nenekku. Kulihat nenekku terbujur lemas di tempat tidurnya. Disekelilingnya ada anak beserta cucunya. Sebagian mencoba untuk menuntunnya untuk mengucapkan kalimat Toyyibah “Laillahailallah.... Laillahailallah... Laillahailallah...”. Lututku lemas. Tak bisa kubayangkan nenekku yang selalu merawatku kini terbujur sedang menghadapi sakaratul maut. Sambil terus berdoa aku mendekati tempat tidurnya.
            Seorang anaknya berbicara pada nenekku, “iki mbok Itak wis teko! JAre kowe nggolekki!” (ini itak mbok, dia sudah datang! Katanya kau mencarinya).
Nenek tak merespon apapun dengan nafas masih pelan dan mata terpejam.
            Teringat kembali pertengkaranku dengannya, waktu itu aku bersikeras untuk kuliah di UNY. Alasanku karena ingin membalas jasanya kelak. Beliau memintaku untuk jangan pergi, beliau ingin aku tetap disampingnya, terserah mau kerja atau menganggur asalkan tiap hari bisa bertemu dengan ku katanya. Kemudian, dengan diam-diam aku mendaftarkan SNMPTN, dan akhirnya aku diterima. Dan saat itu kami bertengkar lagi.
            “Pokoknya aku mau ke jogja, aku mau kuliah. Lagipula aku sudah diterima disana dan aku sudah mendapatkan biayanya Nek”.
            “Mbok ya nunggu tahun depan biar aku merasakan dirawat oleh cucu. Paling umurku ga ada satu tahun lagi. Ngancani aku! (menemaniku )”
            “Tapi nek, kesempatan ga akan pernah datang dua kali”
            “Yowis, tak tunggu kamu jadi PNS”
            Teringat kembali masa-masa kecilku. Masa kecil yang kurang bahagia tanpa pendampingan orangtua seharusnya tidak berdampak pada kepribadian seorang anak jika anak tersebut mampu menerima keadaan. Selain itu lingkungan yang mendukung serta tingginya kesadaran bahwa hidup adalah tahap perkembangan untuk menyelesaikan tugas perkembangan manusia. Sayangnya hal itu hanya bisa kuungkapkan saja tanpa bisa kujalani karena akupun tak mengerti teori apa yang baru saja kusampaikan. Aku malah tumbuh menjadi seorang yang mengalami cacat kepribadian yang tak lumrah seperti orang-orang lain pada umumnya.
            Aku tumbuh jadi Anita yang pemalas yang bahkan untuk memberesi buku sekolahnya pun tak pernah mau. Selain itu aku jadi suka melamun sehingga punya kehidupan sendiri dalam lamunan itu. Sifat introvert sekaligus pelit adalah paduan sempurna untuk menjadi seseorang yang tak akan pernah punya teman di Sekolah Dasar. Sifat Jorok dan Keberanian yang berlebih membuatnya terlihat seperti cowok. Kepribadian yang paling membahayakan adalah tak pernah mau berdandan, bahkan hanya membersihkan muka dengan milk cleanser pun tak pernah dilakukannya.
            Kalau bukan nenek yang merawatku mungkin aku tak berada disini. Tanpa pernah merasa lelah dia berjualan gorengan di pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami. Sebelum ku bisa mencuci baju sendiri beliaulah yang mencucikannya. Saat ku merindukan kedua orangtuaku dialah yang menghibur dan menemani tiap malam. Saat ku terbaring sakit dialah yang merawatku penuh kasih sayang. Kesabaran dan kelembutannnya membuatku tak kehilangan sosok ibu yang sebenarnya.
            Tapi Sebelum ku bisa membalas semua jasanya dia telah meninggalkan ku sendiri. Tak terasa air mataku jatuh saat mengingat kejadian itu. Itu saat terakhir aku berbicara dengannya karena semenjak itu aku kuliah di Jogja dan aku baru pulang saat aku selesai ujian. Aku marah pada diriku sendiri kenapa aku tidak sering pulang, untuk merawat nenekku. Aku marah kenapa lebih mementingkan kuliah daripada nenekku yang selama ini telah merawatku. Terlambat sudah sekarang. Beliau telah tiada, telah meninggalkan kami, anak-anak dan cucu-cucunya. Terutama aku. Aku sedih sekali karena belum memenuhi janjiku untuk menjadi PNS saat beliau masih hidup. Maafkan aku yang telah membuatmu bersedih. Semoga kau tentram disana. Selamat jalan nek....

Gila aja ceritanya ga nyambung ma tema "My Inspiring Teacher" trus... ah sudahlah saya memang gagal...

Tidak ada komentar: